Have an account?

Tuesday 25 January 2011

PENGERTIAN USHUL FIQH


Ushul fiqh adalah bagian penting dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam bidang hukum. Ushul fiqh terkait erat dengan fiqh, yang oleh orang Barat disebut dengan the queen of islamic sciences (ratunya ilmu-ilmu keislaman). Ushul fiqh dan fiqh adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan.
Hubungan keduanya seperti layaknya hubungan produk dengan sarana mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana untuk mengolahnya. Suatu produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara (resep) tertentu. Fiqh adalah sebuah produk. Ia diolah dari bahan wahyu, yaitu Alquran, dan sunnah Rasulullah. Adapun cara agar Alquran dan sunnah itu dapat dinikmati sebagai fiqh adalah dengan dengan ushul fiqh. Jadi, ushul fiqh adalah membicarakan bagaimana (how) Alquran dan sunnah dipahami. Hasil pemahaman itulah yang disebut dengan fiqh.
Meskipun ushul fiqh sangat penting, tetapi seringkali pelajaran ushul fiqh kurang mendapatkan perhatian yang semestinya. Orang lebih senang mencari hasil jadinya, yaitu hukum-hukum fiqh. Ushul fiqh kemudian hanya dipelajari sambil lalu tanpa pemahaman arti penting kegunaannya, padahal melalui ushul fiqh akan diketahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama dalam memahami Alquran dan sunnah serta bagaimana hukum Islam diformulasikan. Dengan cara tersebut, ushul fiqh mengantarkan umat Islam untuk lebih memahami ajaran agamanya secara bijaksana dan ilmiah.
Ketika umat Islam tidak mengenal ushul fiqh dalam membaca ayat-ayat Alquran dan hadits, khususnya mengenai perbuatan mukallaf (manusia yang terkena beban hukum), ia bisa saja bertindak tidak bijaksana karena kesalahan menyimpulkan kehendak Alquran dan hadits. Tidak mengherankan apabila ulama mensyaratkan salah satu ketentuan berijtihad adalah menguasai ushul fiqh.[1]

1. Pengertian Ushul Fiqh
            Untuk mengenal lebih lanjut tentang ushul fiqh, berikut ini akan dijabarkan pengertian ushul fiqh. Perlu diingat bahwa pengertian adalah bagian penting dalam tradisi keilmuan Islam untuk memperjelas bidang kajian. Melalui pengertian atau definisi, akan diketahui wilayah yang termasuk bidang kajian ushul fiqh dan wilayah di luar bidang kajian ushul fiqh. Karena itu syarat definisi adalah jami’ (memuat) dan mani’ (menolak). Jami’ artinya bahwa definisi harus mampu memuat dan menggambarkan seluruh aspek obyek kajian. Mani’ berarti menutup pintu bagi aspek-aspek yang bukan termasuk obyek kajian untuk turut dibahas di dalamnya.
            Ada berbagai pengertian mengenai ushul fiqh yang diajukan oleh para ulama. Rumusan lahiriyah berbagai pengertian tersebut boleh jadi berbeda, tetapi sebenarnya sama esensinya. Umumnya ulama menjelaskan terlebih dahulu pegertian kata ushul dan kata fiqh, baru kemudian menggabungkannya sehingga tercipta pengertian baru.

a. Pengertian ushul  
Ushul fiqh terdiri atas dua kata: ushul dan fiqh. Ushul adalah kata jamak dari ashl (أصل) artinya landasan untuk membangun (pondasi). Ashl bisa juga diartikan dengan pokok, seperti pokok atau batang pohon. Kata ushul biasanya dilawankan dengan kata furu’, yaitu kata jamak dari far (فرع) yang berarti sesuatu yang dibangun di atas yang lain.[2] Kata furu’ juga bisa dipahami sebagai cabang pohon yang menempel dan bergantung kepada batangnya. Kalau digambarkan, hubungan antara ushul dan furu’ adalah seperti cabang dengan batang pohon atau seperti pondasi dengan bangunannya. Jadi, furu’ hanya akan ada atau berdiri apabila ada ushul.
            Pengertian ushul di atas bersifat kongkrit, artinya masih dikaitkan dengan benda-benda kongkrit atau kasat mata. Sementara itu, ushul fiqh adalah obyek yang bersifat abstrak, atau tidak kasat mata. Ushul fiqh merupakan obyek kajian yang  hanya bisa ditangkap oleh akal, bukan oleh indera. Jadi, pengertian ushul di atas harus diubah menjadi pengertian yang abstrak. Untuk mengubah pengertian kongkrit menjadi abstrak tersebut diperlukan proses metaforis, yaitu menggunakan yang kongkrit untuk memahamkan yang abstrak. Proses tersebut dapat terjadi sebagaimana berikut ini:

Menurut bahasa kongkrit ushul                                    pondasi            atau     batang

Menurut bahasa abstrak ushul                                     kaidah              atau     dalil

Jadi, kata ushul dalam pengertian ushul fiqh yang abstrak berarti kaidah atau dalil umum, yang fungsinya sama dengan pondasi atau batang ketika dihubungkan dengan fiqh.

b. Pengertian Fiqh
            Fiqh sering masyarakat dipahami hukum Islam. Pemahaman demikian tidak salah, tetapi penjabaran lebih lanjut karena tidak semua hukum Islam adalah fiqh. Fiqh hanya menunjuk hukum Islam yang diperoleh melalui proses ijtihad, sedangkan hukum Islam yang diperoleh dari petunjuk yang sangat jelas dan pasti (qathi) dari Alquran atau hadits biasa disebut syariat. Untuk memahami lebih lanjut mengenai fiqh, berikut ini akan dijabarkan pengertian fiqh menurut arti bahasa sampai pada pengertian istilah.
            Kata fiqh secara bahasa memiliki pengertian al-fahm (الفهم) atau faham. Dengan demikian, fiqh menurut pengertian bahasa menyangkut pemahaman yang diperoleh melalui proses berfikir yang mendalam, bukan sekedar tahu atau mengerti. Tidak semua proses berpikir adalah memahami karena memahami adalah tingkatan tertinggi dalam berpikir. Jadi, fiqh adalah hasil berpikir yang mendalam.
            Menurut pengertian yang dipahami umat Islam saat ini, fiqh adalah:
العِلْمُ بِِاِلْاَحْكَامِ الشَرْعِيِّةِ العَمَلِيَّةِ الَّتِي طَرِيْقُهَا الأِجْتِهَادِ مِنَ اْلكِتَابِ وَ السُّنُّةِ
“Mengetahhui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah (praktik) yang sarananya adalah ijtihada dari Alquran dan sunnah”

Atau sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Baidhawi:
 العِلْمُ بِِاِلْاَحْكَامِ الشَرْعِيِّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التًّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang rinci”

Berdasarkan dua pengertian di atas, tampak bahwa fiqh memiliki beberapa ciri khas:
  1. Pengetahuan mengenai hukum-hukum syar‘i, bukan hukum aqli (hukum akal) atau hukum addi (hukum adat).[3] Hukum syar‘i adalah hukum yang sumbernya Alquran dan sunnah. Sementara itu, hukum ‘aqli bersumber dari akal dan hukum addi bersumber dari adat.
  2. Bersifat amaliyah atau menyangkut perbuatan lahiriyah, bukan bersifat perasaan, hati, atau pikiran. Jadi, yang diatur oleh fiqh adalah amalan lahiriyah. Sebagai perkecualian, ada satu bahasan dalam fiqh yang bersifat hati, tentang niat.
  3. Diperoleh melalui ijtihad, yaitu dari upaya ahli hukum (mujtahid) melakukan kerja ilmiah untuk menggali hukum dari ayat-ayat Alquran dan sunnah. Karena berasal dari ijtihad, fiqh bersifat dzanni (prasangka yang didukung bukti). Hal itulah yang membedakan antara fiqh dengan syariat, yaitu hukum-hukum yang diperoleh dari dalil-dalil qathi, seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun ketentuan mengenai iftitah, qunut, dan rincian shalat bersifat dzanni
  4. Berasal dari dalil-dalil rinci dari Alquran dan sunnah. Dalil-dalil rinci adalah dalil-dalil yang membahas perkasus mengenai suatu persoalan.  
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah melalui ijtihad dari dalil-dalil rinci Alquran dan sunnah. Fiqh bersifat dzanni (prasangka yang didasari bukti dan argumentasi).
Istilah lain yang terkait dengan fiqh adalah istilah syariah atau syariat. Istilah syariat memiliki beragam pengertian:
1. Ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammmad SAW (syariah dalam pengertian luas)
2. Hukum Islam yang diperoleh dari dalil qath‘i atau tegas (syariah dalam pengertian sempit)
3. Hukum yang bersumber dari Alquran dan sunnah, baik bersifat qath‘i maupun dzanni.
Dalam pembahasan mengenai hubungan fiqh dan syariah, pengertian syariah yang kedua yang biasanya dipergunakan.



c. Pengertian ushul fiqh
Setelah jelas bahwa pengertian ushul adalah dalil umum atau kaidah dan fiqh adalah mengetahui hukum syar.i amaliyah melalui ijtihad dari dalil-dalil rinci Alquran dan sunnah barulah kita bisa menyusun pengertian ushul fiqh. Secara singkat pengertian ushul fiqh sebagaimana diberikan oleh Imam Ibnu Hajib al-Maliki adalah:
 العِلْمُ بِِِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اِسْتِنِْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشََّرْعِيِّةِ الفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التًّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui kaidah-kadiah yang membawa kepada pengambilan hukum syar‘’ yang cabang dari dalil-dali rinci. 

Berdasarkan kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh adalah “Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah atau dalil umum untuk melakukan istimbath (penggalian hukum).” Jadi sasarannya adalah membahas dan membuat kaidah, bukan membahas rincian hukum atau menyimpulkan hukum dari dalil-dalil Alquran dan hadits. Pembahasan mengenai rincian hukum dan pemahaman dalil-dalil rinci Alquran hadits adalah tugas fiqh. Ushul fiqh hanya membahas kaidah-kaidah umumnya saja sehingga tugas ushuliyyin hanyalah membuat dan meneliti kaidah ushul.

Contoh:
Ulama ushuliyyin (ahli ushul fiqh) menyatakan sebuah kaidah ushul:
اَلْأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Perintah pada dasarnya berarti wajib”
Atau:
اِذَا تَجَرَّدَ صِيْغَةُ الْأَمْرِ اقْتَضَتْ الوُجُوْبَ
“Jika susunan kalimat perintah itu murni (tanpa hal-hal yang membuatnya memiliki pengertian lain atau melunakkan pengertiannya) maka perintah itu menuntut kewajiban”[4]

Ketika para ahli fiqh (fukaha) mengkaji surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (الإسراء 78)
“Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir sampai terbenamnya mega merah dan (dirikan) shalat saat munculnya fajar. Sesungguhnya fajar itu dapat terlihat.”

terlihat bahwa perintah tersebut tidak disertai hal-hal yang membuatnya berarti lain selain perintah shalat pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan akidah ushul di atas, perintah tersebut bermakna wajib. Karena itu, ahli fikih memutuskan bahwa perintah shalat pada waktu tertentu bermaksa wajib.
Itu berarti ahli fiqh menggunakan kaidah-kaidah yang dikaji dan dirumuskan ahli ushul untuk melakukan penggalian hukum dari Alquran. Boleh jadi ahli ushul fiqh itu juga sebenarnya juga merangkap ahli fiqh, seperti Imam al-Ghazali, Imam Abu Ishaq al-Syrazi, Imam al-Juwayni, Imam Ibnu Qudamah, dan Imam Tajuddin al-Subki. .

2. Obyek Kajian Ushul Fiqh
            Setiap ilmu pasti memiliki kejelasan obyek kajiannya. Ushul fiqh pun demikian. Obyek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil umum atau kaidah-kaidah. Apabila dirinci, obyek kajian utama ushul fiqh ada empat:
  1. Tentang pengertian dan pembagian hukum, yang meliputi pembuat hukum (syari), beban hukum (mahkum bih), dan penanggung beban hukum (mahkum alaih).
  2. Tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalil hukum
  3. Kaidah-kaidah memahami sumber hukum, termasuk ketika terjadi pertentangan tuntutan sumber hukum.
  4. Ketentuan orang yang mampu melakukan penggalian hukum (mujtahid).

3. Perbedaan Kaidah Ushul (al-qawaid al-ushuliyyah) dan kaidah fiqh (al-qawaid al-fiqhiyyah)
            Ada dua bentuk kaidah yang populer di kalangan masyarakat Islam, yaitu kaidah ushul dan kaidah fiqh. Keduanya diajarkan di pesantren-pesantren maupun sekolah-sekolah Islam yang mendalami hukum Islam. Keduanya memiliki fungsi penting dalam memutuskan persoalan hukum. Karena keduanya sama-sama berisikan kaidah, hal itu membuka pintu kerancuan di kalangsan sebagian pengkaji ushul fiqh apakah kaidah fiqh sama dengan kaidah ushul.
            Tidak diragukan lagi, ada beberapa aspek kaidah fiqh yang hampir mirip kaidah ushul fiqh. Kaidah اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًا (ada atau tiadanya hukum berjalan bersama alasan hukumnya). Kaidah tersebut bisa menjadi kaidah ushul atau kaidah fiqh, namun ciri-ciri kaidah ushulnya lebih jelas. Kaidah اِعْمَالُ الدَّلِيْلِ أَفْضَلُ مِنْ اِهْمَالِهَا (mempergunakan dalil lebih baik dari mengabaikannya) adalah kaidah yang sering masuk pembahasan kaidah fiqh, tetapi secara prinsip dasar mirip kaidah ushul.  
            Akan tetapi ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan pegangan untuk membedakan antara kaidah ushul dengan kaidah fiqh:
  1. Kaidah ushul digunakan untuk melakukan pengambilan hukum (istimbath) dari sumber-sumber hukum. Sementara itu, kaidah fiqh digunakan untuk melakukan pemecahan masalah hukum praktis yang muncul dalam penerapan hasil istimbath deari dalil-dalil Alquran. Contohnya adalah bahwa menurut kaidah ushul “larangan tanpa ada petunjuk yang melunakkannya berarti haram.” Larangan daging babi dalam Alquran berdasarkan penggunaan kaidah ushul tersebut oleh ahli fiqh disimpulkan bahwa daging babi haram.
Pada prakteknya muncul keadaan paceklik di mana yang ada hanya daging babi. Kalau tidak memakan daging babi, boleh jadi seseorang akan mati. Karena itu berlaku kaidah fiqh “keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang” sehingga orang muslim boleh makan daging babi yang dilarang Alquran berdasarkan kondisi darurat.
Bukan berarti orang Islam tersebut melanggar Alquran, melainkan bahwa kondisi yang ia hadapi memungkinkan ia berpindah dari hukum yang telah baku ke hukum lain yang didukung oleh ayat Alquran secara tidak langsung, yaitu larangan mencelakakan diri sendiri. Kaidah fiqh disusun untuk mencari jalan keluar dari masalah-maslah hukum yang muncul dalam tataran praktis.
  1. Kaidah ushul diperoleh secara deduktif, sedangkan kaidah fiqh secara induktif. Penyusunan kaidah ushul, utamanya di kalangan ushul fiqh mutakallimin, dilakukan tanpa melihat realitas terlebih dahulu. Kaidah dibuat dulu, baru kemudian diterapkan. Sementara itu, kaidah fiqh diperoleh secara induktif, yaitu berasal dari penyelidikan pemecahan kasus-kasus fiqh, baru kemudian disimpulkan kaidahnya. Karena itu, kaidah ushul umumnya bersifat kulli (berlaku kepada seluruh persoalan detail), sementara kaidah fiqh umumnya bersifat aghlabi (berlaku kepada sebagian besar kasus, dengam berbagai perkecualian).  

4. Sumber-sumber Penyusunan Ushul Fiqh
            Ushul fiqh bukanlah ilmu yang berdiri sendiri dan muncul tiba-tiba dari ruang kosong. Ushul fiqh disusun dengan perangkat keilmuan yang lain. Imam Ibnu Hajib berpendapat bahwa sumber utama penyusunan ushul fiqh adalah bahasa (Arab), ilmu kalam, dan hukum-hukum (fiqh).[5]
            Ilmu kalam menjadi bagian penting dalam ushul fiqh, khususnya ushul fiqh aliran mutakallimin (Syafi’iyyah). Ilmu kalam menjadi dasar pengenalan tentang siapa pemilik otoritas hukum, hukum sebelum ada wahyu, dan kaitan keimanan dengan pembebanan hukum. Ilmu kalam menjadi landasan untuk membangun sebuah sistem hukum yang berlandaskan nilai ketuhanan dan keimanan.
            Ilmu bahasa merupakan bagian terpenting dalam ushul fiqh. Para ulama ushul memberikan porsi besar bagi ulasan mengenai teori bahasa hingga pemaknaan kata dan kalimat. Kitab al-Mahsul karya Imam Fakhruddin al-Razi, misalnya, memberikan ulasan mengenai persoalan kebahasaan lebih dari separuh tulisannya. Imam al-Syafi‘i dalam kitabnya al-Risalah menegaskan bahwa Alquran dan hadits berbahasa Arab. Karena itu, ia menyarankan agar Alquran dan hadits dipahami menurut cara orang Arab memahaminya.[6]
Ilmu fiqh diperlukan karena pembahasan mengenai kaidah-kaidah memerlukan contoh-contoh untuk membumikan kaidah-kaidah tersebut. Tanpa contoh praktis, akan sulit untuk melihat pengaruh perbedaan kaidah terhadap kesimpulan hukum. Tanpa contoh penerapan, kaidah-kaidah akan sulit dipahami.
            Selain tigas sumber di atas ada beberapa sumber lain yang menjadi bahan penyusunan ushul fiqh, yaitu ilmu Alquran, ilmu hadits, dan logika.[7] Ilmu Quran digunakan untuk menjabarkan Alquran, sebagai sumber hukum pertama, dan sekaligus bagaimana memahami ayat-ayatnya. Teori nasakh (penggantian hukum) adalah contoh ilmu Alquran yang juga bekerja dalam ushul fiqh.
            Ilmu hadits menjadi penting karena hadits adalah sumber kedua hukum Islam. Agar dapat digunakan sebagai sumber istimbath (pengambilan hukum) hadits harus jelas dulu kesahihannya karena hadits dlaif, apalagi yang maudlu (palsu) tidak bisa digunakan sebagai hujjah (argumentasi). Kriteria kesahihan hadits yang menjadi bidang ilmu hadits dipergunakan juga dalam ushul fiqh untuk memastikan apakah sebuah hadits bisa dijadikan pijakan penyimpulan hukum atau tidak. Dalam ushul fiqh, pembahasan mengenai perbuatan Rasulullah dan persetujuan (taqrir) Rasulullah   terhadap amalan sahabat mendapatkan porsi bahasan.
            Logika Yunani (mantiq) pun menjadi bahan dalam penyusunan ushul fiqh, utamanya di kalangan muta’akhkhirin. Imam al-Ghazali dipandang sebagai pelopor utama dimasukkannya bahasan logika dalam ushul fiqh, meskipun sebenarnya Imam Ibnu Hazm, melalui kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam sedikit banyak menggunakan aspek logika Yunani. Namun di tangan Imam al-Ghazali, dalam kitabnya al-Musthasfa, pengantar logika dimasukkan secara jelas. Usaha Imam al-Ghazali tersebut diikuti oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam kitab Raudlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir, dan Imam Ibnu Hajib al-Maliki dalam kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal.
            Meskipun masuk dalam beberapa kitab ushul, logika Yunani tidak serta merta memiki pengaruh besar dalam istimbath hukum. Pola istimbath hukum selama ini tetap mengacu kepada pola kebahasaan dan pertimbangan kemaslahatan.


[1] [2]Al-Bayan
[3]Ummul Barahin
[4]Abu Ishaq al-Syirazi.
[5]Ibnu Hajib. Muntaha al-Wu(Sul) wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1985. h. 4
[6]
[7]Thaha Jabir al-Alwani.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails